Sekolah Pertama dan Paling Utama

 


Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam sebuah negara. Lebih dari itu, pendidikan yang “berkualitas” saat ini tengah menjadi kebutuhan masayarakat. Mereka rela merogoh kocek yang tidak sedikit agar anak – anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Harapannya, anak dapat memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka mampu hidup mandiri ketika orangtua sudah tidak ada lagi di sisi mereka.

Di sisi lain, sebagian masyarakat sendiri nampaknya belum benar – benar memahami hakikat dari pendidikan itu sedniri serta bagaimana proses menjalaninya. Sebagian dari mereka memandang bahwa proses pendidikan hanya bisa dijalankan di lembaga – lembaga pendidikan formal dimana guru dianggap memiliki tanggungjawab sepenuhnya dalam proses pendidikan anak. Akibatnya, sebagian masyarakat berlomba – lomba untuk mendapatkan “golden tiket” di sekolah – sekolah favorit sekalipun harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit atau harus menempuh jalan yang “tidak wajar”.

Paradigma keliru semacam ini juga pada akhirnya menempatkan guru pada posisi yang cukup sulit. Jika output yang dihasilkan oleh lembaga tidak sesuai dengan ekspektasi orangtua, maka gurulah yang disalahkan sepenuhnya oleh para orangtua. Padahal, kualitas lulusan yang kurang menggembirakan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh proses pendidikan yang berjalan secara parsial dimana orangtua melimpahkan tanggungjawab pendidikan sepenuhnya kepada guru.

Jika kita mau merenung sejenak saja, sekolah pertama dan paling utama sesungguhnya adalah keluarga dimana sosok ibu berperan sebagai madrasah pertama bagi anak. Melalui tangan seorang ibu lah nilai – nilai pendidikan seharusnya diajarkan. Pendidikan moral serta spiritual seharusnya diajarkan di lingkungan keluarga dimana anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Pesan moral spiritual seperti keharusan menjaga sholat lima waktu jauh lebih penting untuk ditanamkan sejak dini dibandingkan dengan pelajaran – pelajaran lainnya.

Orangtua juga perlu menanamkan kepada anak bahwa apabila kita berorientasi pada akhirat, maka Allah akan mudahkan urusan kita di dunia. Ibarat kita menanam padi, rumput akan ikut tumbuh sekalipun tidak kita tanam. Selain itu yang harus jadi pemikiran orangtua sebelum menyekolahkan anak – anak mereka harus jelas terlebih dahulu tujuannya. Jangan sampai ketika anak sudah sekolah tinggi, mereka bingung mau bekerja apa atau mau melakukan apa setelah lulus kuliah. Sebaliknya, orangtua perlu menanamkan nilai – nilai pendidikan sejak dini seperti memberikan tugas ngepel atau membersihkan toko (apabila kita pedagang) sehingga anak dapat merasakan bagaimana perjuangan untuk mempertahankan hidup yang sesungguhnya. Adapun ijazah formal tetap dapat kita raih melalui kejar Paket A, B dan lainnya.

Adapun jika orangtua berprofesi sebagai seorang petani dan menginginkan anak – anaknya juga berprofesi sebagai seorang petani, maka mereka harus mengajarkan anak – anak untuk bertani secara modern agar hasil yang diperoleh jauh lebih baik dibandingkan dengan bertani cara tradisional. Anak – anak perlu dilibatkan dalam berbagai komunitas pertanian modern agar mereka dapat menambah wawasan dan keterampilannya. Di samping itu kemajuan teknologi informasi saat ini memungkinkan siapa saja untuk dapat menimba ilmu kapanpun dan dimana pun. Tidak hanya itu, kehadiran berbagai komunitas juga membantu kita untuk berkonsultasi dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan bidang yang kita tekuni.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk kembali menjadikan keluarga sebagai sekolah pertama dan paling utama bagi anak – anak kita. Dengan demikian, lahirnya generasi unggul berkarakter dan berakhlak mulia pun dapat benar – benar terwujud.

 Penulis : Sholahuddin Al Ayyubi, Pengawas YPI Al - Ukhuwah Subang

Share:

0 $type={blogger}:

Posting Komentar

Sekolah

Unordered List

Pages

Sample Text

Visitor

Flag Counter